Pages

Powered By Blogger

Monday 18 February 2013

Dibutuhkan Pendidik Untuk Memimpin Jateng



Ibarat kapal, pendidikan Indonesia lima tahun terakhir tengah guncang karena menerjeng gelombang. Guncangan akibat elum mapannya ideologi pendidikan nasional diimbuhi oleh dinamika yang tanpa akhir. Dua peristiwa yang menyita perhatian publik adalah pembatalan status RSBI dan rencana penetapan kurikulum 2013.

Ada hubungan kausalitas antara dinamika dunia pendidikan dengan proses politik. Kondisi kebangsaan yang masih menjadikan politik sebagai panglima membuat dunia pendidikan tak bisa lepas dari persoalan politik. Misalnya, kebijakan anggaran pendidikan hampir selalu ditentukan oleh rezim berkuasa.

Bagi masyarakat akademik, baik siswa, guru, maupun orang tua, kondisi ini cukup mengganggu. Pasalnya, pendidikan kerap bergerak ke arah yang sulit ditebak. Kebijakan pendidikan begitu mudah berganti arah. Tidak hanya dalam hitungan tahun, tapi bulan.
Dalam konteks inilah masyarakat memerlukan pemimpin dengan cakrawala pendidikan yang terbentang luas. Tidak hanya memahami pendidikan sebagai alat negara mencerdaskan bangsa, tapi sekaligus mengerti bahwa pendidikan adalah asal mula peradaban.
Masyarakat memerlukan pemimpin yang memahami bahwa pendidikan bukan semata soal anggaran dan aturan-aturan, tapi soal ikhtiar memenuhi kebutuhan manusia yang sangat esensial. Ia juga harus mengerti bahwa pendidikan adalah kewajiban spiritual. Tidak hanya melanggar amanat konsitutusi, mengabaikan pendidikan adalah juga dosa besar.
Pemimpin dengan karatkter demikian bisa berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Tapi saya kira dosen (guru) adalah profil terbaik yang memenuhi prasyarat itu.

Gubernur

Dalam ingatan kolektif bangsa, kita sebenarnya memiliki sejumlah nama pemimpin yang punya perhatian esktra pada pendidikan. Mereka melakoni dua peran, sebagai pemimpin politik dan guru, dengan sama baik.
Pendiri Sarekat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto, misalnya, sekalipun tak pernah secara resmi mendirikan lembaga pendidikan, adalah akademisi yang handal. Naluri pendidiknya bahkan mampu membesarkan pemikir besar sekelas Soekarno dan SM Kartosuwujo. Tjokroaminoto mendedikasikan diri sebagai guru bagi para pemuda yang haus ilmu.
Pada masa yang tak jauh beda kegiatan berpolitik dan mendidik juga dilakoni Hatta dan Soekarno, sang dwitunggal. Kegiatan mengajar ketika menjalani masa pembuangan bukan keterpaksaan. Di Pulau Ende Soekarno berinveastasi dengan mengajar, menumbuhkan spirit kebangsaan pada anak-anak.

Persinggungan politik dan dunia guru berlanjut ketika Orde Baru. Kaum intelektual tampil sebagai konseptor pembangunan. Soeharto, pada masa itu, guru besar Ekonomi Universitas Indonesia Widjojo Nitisastro didapuk menjadi arsitek pembangunan nasional. Sekalipun sejarah melabelinya menjadi penyokong penguasa, akademisi yang politisi ini menyumbang jasa yang besar.
Di era reformasi seperti saat ini, kesempatan terbuka lebih lebar bagi para pendidik untuk bekiprah di dunia politik. Kini, misalnya, tidak sedikit dosen yang menjadi anggota DPR. Di kesempatan lain, mereka juga dapat tampil menjadi calon kepala daerah.

Dalam konteks lokal di Jawa Tengah, masyarakat akademik di provinsi ini kini memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang memiliki intuisi mendidik kuat. Dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah Mei mendatang, masyarakat berhak menyodorkan nama. Masyarakat, dengan mekanisme politik yang ada atau melalui media masa, dapat mengintervensi lembaga politik seperti partai untuk mengakomodasi kebutuhannya.
Hemat saya, suara masyarakat akademik untuk memiliki pemimpin demikian perlu disuarakan. Pasalnya, persoalan pendidikan mendasar di Jawa Tengah perlu diatasi segera. Masalah buta aksara, peningkatan kualitas guru, dan ketersediaan infrastruktur belajar, mutlak harus diselesaikan.

Agar persoalan ini tuntas hingga akarnya, tentu saja diperlukan pemimpin yang memiliki rekam jejak baik di dunia akademik. Siapakah dia? Setiap orang memiliki jawaban yang barangkali berbeda.

No comments:

Post a Comment