Pages

Powered By Blogger

Thursday 16 May 2013

Sekedar Mengingatkan Tentang Bahasa Tegal


Imbas dari era globalisasi, manusia dihadapkan pada masa yang semakin berkembang di sektor teknologi maupun bahasa. Bahasa asing dirasa wajib dipelajari bagi kaula muda. Disisi lain mereka mulai meninggalkan bahasa ibu yang mestinya menjadi kekayaan budaya Indonesia.

Tak perlu menelisik jauh, bahasa Tegal sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan penuturnya. Lebih khusus kita lihat penggunaan bahasa Tegal dengan ke khasan dialeknya yang tak lagi nyaring di kota asalnya. Hal itu diperparah dengan fakta bahwa banyak keluarga yang tak lagi menggunakan bahasa Tegal sebagai bahasa keluarga.

Sebagai orang asli Kabupaten Tegal, tentu tidak salah jika saya mengingatkan kembali tentang dialek yang sering dipakai oleh sebagian besar orang Tegal ketika berkomunikasi. Saya sadar betul, tulisan ini jauh dari sempurna. Tapi ini adalah upaya saya sebagai bocah Tegal untuk melestarikan bahasanya.

Selain dari keterbatasan informasi juga pada beberapa daerah di Tegal banyak terdapat perbedaan intonansi yang mencolok. Meskipun sama-sama memakai bahasa Tegal, di berbagai kecamatan/desa bisa berbeda.
Kalaupun ada yang ingin menambah perbendaharaan, membetulkan ejaan, iseng iseng ber komentar, atau hanya baca-baca saja juga tidak apa-apa.

Aja = Jangan
Ana = Ada
Angel = Susah
Arep = Mau/Akan
Awan = Siang
Bae = Saja
Bengi = Malam
Dadi = Jadi
Dina = Hari
Disit = D(ah)ulu
Dudu = Bukan
Durung = Belum
Edan = Gila
Engko = Ngko = Nanti / Ntar
Gagian = Cepetan/ Buruan
Gal gil = Petakilan = (Kebanyakan) Gaya
Gawe = Buat/ Bikin
Gelem = Mau/ingin
Jukut = Ambil
Kakehen = Kebanyakan
Karo = Dengan/ Barsama
Kaya = Seperti
Koen = Rika = Kamu/ Anda
Kue = Kae= Itu
Kyeh = Kie = Nih, Ini
Laka = Langka = Tidak Ada
Liyane = Lainnya/ Yang lain
Maring = Ke
Mbokan = Barangkali
Mburi = belakang
Mbuh = Entah
Mene = Ke sini Mengko = Nanti
Metu = Keluar
Mlebu = Masuk
Moh = emoh = Tidak Mau
Monggo = Silakan
Mono =Mana = Ke sana / ke situ
Nduwur = atas
Nemen = Sekali/Banget
Ngarep = depan
Ngisor = bawah
Ning = Di
Ning = Ng = Ing = di..
Njaba = di luar
Nyong = Inyong = Aku/ Saya
Ora = Tidak
Pan = Repan = Arep = Akan/ Mau
Sadurunge = Sebelum
Sawise = Setelah
Sing = Nun = Yang
Tangi = Bangun
Tarok = Pacar
Toli = ..Sekalian/ Terus
Turu = Tidur
Urip = Hidup
Wagu = Aneh
Weruh = Lihat
Wingi = Kemarin
Wis = Uwis = Sudah/ deh
Yen = Bokan = Ari = Jika

Sunday 21 April 2013

Asal Usul Desa Kalibakung Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal

Desa Kalibakung adalah desa yang terletak didaerah Kabupaten Tegal selatan, ketika kita menuju obyek wisata Guci tentunya kita melewatinya, berada letak selatan Desa Yamansari dan ketika kita melewatinya kita sering kerap kali menemukan Sebuah Tikungan - tikungan yang tajam, desa Kalibakung sendiri memiliki Tempat pariwisata yang cukup sangat terkenal pada zaman dahulu yaitu kolam renang dan hotel yang dibangun dengan rancangan yang unik, disekitar hotel kita dapat menikmati indahnya sungai gung dan pegunungan yang masih nampak segar untuk dilihat.

Sejarah desa Kalibakung menurut sesepuh dari sumber yang dapat diperoleh adalah, pada dahulu kala ada empat orang yang berkebun dan menetap di sebuah bukit dan mereka berempat melakukan kegiatan bercocok tanam, karena mereka giat dan rajin mereka tak menyangka usaha berkebunya telah menghasilkan sebuah kebun yang sangat besar, sehingga tempat tersebut dinamakan kebon gede/ kebun besar.

Setelah mereka berempat sekian lama bercocok tanam mereka juga memelihara sebuah binatang kerbau yang sangat besar dan mereka membuat sebuah kandang untuk kerbau tersebut tapi kerbau yang besar merusak kebun mereka sehingga mereka memindahkan kerbau tersebut diatas bukit dan mengangkat kandang kerbau tersebut yang berukuran sangat besar hanya dengan jumlah empat orang maka dari itu ada daerah dikalibakung sendiri yang bernama Kandang Gotong (mengangkat kandang).

Pada waktu itu belum terlintas nama Kalibakung karena nama pertama desa ini adalah kebon gede. Awal kisah suatu hari pada malam hari mereka berempat sedang beristirahat dan mereka mencium aroma bunga yang sangat menyengat, kemudian mereka mencari sumber harum bunga tersebut dan mereka menemukan sebuah tanaman bunga Bakung yang Tumbuh hidup ditengah - tengah sungai gangga (kali gung), maka dari itu mereka menuebut daerah ini sebagai Kalibakung atau sungai bakung, sungai yang ditumbuhi bunga bakung.

Kalibakung itulah namanya setelah itu mereka berpencar dan dari mereka berempat kecuali satu orang tinggal pergi ke selatan barat dan utara.

ketiga orang pergi untuk menunggu kedatangan seorang Raja dan ketiga orang tersebut, dutengah tengah perjalanan mereka menemukan hal yang sangat aneh diutara menemukan sebuah batu besar yang sekarang dinamakan watu karut atau batu besar, batu tersebut ada dua buah tp yang saya lihat ada satu dan menemukan sebuah gua yang sangat ajaib konon gua teraebut dapat pindah ke sebuah dimensi saat kita memasukinya,orang yang pergi keselatan dia menemukan sebuah bukit yang sekarang dinamakan bukit Siwuni bukit yang konon mengeluarkan cahaya.

dan orang yang berjalan disebelah barat mereka menemukan batas dari perjalananya yang hanya bisa sampai didaerah tersebut, karena kondisinya yang lemah dan tidak bisa dilanjutkan lagi maka dari itu ada tempat daerah di Kalibakung yang bernama Dukuh Sampe / batas tempat tinggal.

Tentu saja cerita ini bisa berbeda.



Pemandian Kalibakung Disulap Jadi Wisata Kesehatan Jamu

Bertempat di bekas Obyek Wisata Pemandian Desa Kalibakung Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal, lokasi wisata Kesehatan Jamu tergolong strategis, karena terletak di jalan raya yang menghubungkan Yomani dengan Guci/Bumijawa. Jadi tidak terlalu susah untuk menemukan lokasinya.

Sebelumnya, lokasi ini adalah Pemandian Kalibakung yang sempat berjaya pada era tahun 70-an. Obyek wisata yang baru dibuka tahun 2012 ini merupakan salah satu upaya untuk menyukseskan program saintifikasi jamu yang diinstruksikan oleh Gubernur Jawa Tengah, H. Bibit Waluyo. Intruksinya adalah agar semua wilayah baik kota maupun kabupaten supaya mengembangkan dan memasyarakatkan tanaman jamu sebagai tanaman kesehatan. “Untuk mewujudkan rencana itu, kami telah melakukan koordinasi lintas sektoral termasuk dalam penyiapan lahan yang akan digunakan nantinya,” ujarnya.

Apa saja yang ada di Obyek Wisata ini? Salah satunya adalah berbagai tanaman yang bisa dijadikan jamu, klinik jamu beserta etalase berbagai majam jamu, ada dokter dan apoteker khusus, dan apabila kita berjalan ke belakang terus, kita akan menemui pemandangan alam yang sangat indah. Perbukitan dengan sawah – sawah dan air sungai yang mengalir di sisi bukit.

Jadi tunggu apalagi, kita bisa mengajak serta sanak keluarga untuk berkunjung di tempat wisata ini. Sembari berwisata, kita juga mendapatkan ilmu dan juga kesehatan.

Thursday 18 April 2013

Asal Usul Preman di Indonesia

Akhir-akhir ini polisi tengah gencar-gencarnya melakukan razia preman di kawasan Ibu Kota. Preman-preman yang biasa malak atau sekadar jaga parkir ditangkap, diperiksa identitas dan juga digeledah.

Bila ada senjata tajam atau narkoba maka langsung diproses, sedangkan bila 'bersih' akan dilakukan pembinaan kepada mereka yang dicap preman itu.

"Operasi ini kita lakukan untuk memberi rasa aman kepada warga, karena laporan preman ini sudah meresahkan warga," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto beberapa waktu lalu.

Keberadaan preman saat ini memang sudah meresahkan, pemerasan, penganiayaan bahkan tak jarang pembunuhan kerap mereka dilakukan. Namun apakah arti preman itu sendiri? Benarkah preman identik dengan perbuatan kriminal?

Istilah preman yang saat ini kita gunakan ternyata berasal dari peninggalan Belanda, alias diambil dari bahasa Belanda. Preman berasal dari kata 'vrij' yang artinya bebas atau merdeka, dan 'man' yang artinya orang, sama dengan istilah dalam bahasa Inggris, free man, orang yang bebas atau merdeka.

Pada zaman kolonial, Orang-orang seperti ini tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan kerap kali menjadi membangkang terhadap pemerintahan kolonial. Mereka ini tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah kolonial karena memang menolak penindasan atau karena idealismenya yang tak ingin menjadi anjingnya penjajah. Bahkan banyak vrijman atau preman yang dihubungkan dengan sejarah pejuang bangsa ini.

Sebutan vrijman terdengar sulit di lidah orang Indonesia khususnya Jawa dan Melayu. Mereka lalu menyebut vrijman menjadi preman.

Preman memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Sebab hanya istilahnya saja yang berganti hingga akhirnya kata preman yang hingga sekarang dikenal orang. Pada masa Hindia Belanda istilah yang umum digunakan rakyat Indonesia adalah jago, bukan vrijman atau preman. Istilah yang mengacu pada ayam jantan ini tidak hanya melambangkan kejantanan atau maskulinitas, kemampuan berkelahi tapi juga mengacu pada orang yang kuat. Walaupun pemerintah kolonial menganggap jago atau vrijman sebagai biang keladi dari setiap kegaduhan yang terjadi, namun bagi rakyat Indonesia pada saat itu para jagoan sebenarnya adalah penolong mereka dari kekejaman para penjajah.

Namun seiring berjalannya waktu, ada jagoan atau jawara yang lebih mementingkan nafsu dan materi belaka. Para jago sesat itulah yang menjadi incaran para tuan tanah pemilih lahan partikulir untuk dirangkul dan tukang pukul atau centeng mereka. Tugas lainnya adalah mereka memunguti pajak dari rakyat. Sementara pemerintah kolonial tak ambil peduli bahkan pemerintah memanfaatkan para jago itu sebagai informan mencari biang rusuh masyarakat. Justru para jago sejati yang gerah terhadap sikap pemerintah kolonial dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban.

Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang pada saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Preman sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut.

Namun kini istilah preman tidak lagi merujuk pada mereka yang menolak kolonialisme dan membantu pribumi, vrijman atau preman kini justru meresahkan warga. Pemalakan, kekerasan, penganiayaan dan sejumlah tindakan kriminal dekat mereka. Lalu jika ditilik dari sejarah tersebut, masih layakkah mereka disebut preman?

*dari berbagai sumber

Monday 18 February 2013

Dibutuhkan Pendidik Untuk Memimpin Jateng



Ibarat kapal, pendidikan Indonesia lima tahun terakhir tengah guncang karena menerjeng gelombang. Guncangan akibat elum mapannya ideologi pendidikan nasional diimbuhi oleh dinamika yang tanpa akhir. Dua peristiwa yang menyita perhatian publik adalah pembatalan status RSBI dan rencana penetapan kurikulum 2013.

Ada hubungan kausalitas antara dinamika dunia pendidikan dengan proses politik. Kondisi kebangsaan yang masih menjadikan politik sebagai panglima membuat dunia pendidikan tak bisa lepas dari persoalan politik. Misalnya, kebijakan anggaran pendidikan hampir selalu ditentukan oleh rezim berkuasa.

Bagi masyarakat akademik, baik siswa, guru, maupun orang tua, kondisi ini cukup mengganggu. Pasalnya, pendidikan kerap bergerak ke arah yang sulit ditebak. Kebijakan pendidikan begitu mudah berganti arah. Tidak hanya dalam hitungan tahun, tapi bulan.
Dalam konteks inilah masyarakat memerlukan pemimpin dengan cakrawala pendidikan yang terbentang luas. Tidak hanya memahami pendidikan sebagai alat negara mencerdaskan bangsa, tapi sekaligus mengerti bahwa pendidikan adalah asal mula peradaban.
Masyarakat memerlukan pemimpin yang memahami bahwa pendidikan bukan semata soal anggaran dan aturan-aturan, tapi soal ikhtiar memenuhi kebutuhan manusia yang sangat esensial. Ia juga harus mengerti bahwa pendidikan adalah kewajiban spiritual. Tidak hanya melanggar amanat konsitutusi, mengabaikan pendidikan adalah juga dosa besar.
Pemimpin dengan karatkter demikian bisa berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Tapi saya kira dosen (guru) adalah profil terbaik yang memenuhi prasyarat itu.

Gubernur

Dalam ingatan kolektif bangsa, kita sebenarnya memiliki sejumlah nama pemimpin yang punya perhatian esktra pada pendidikan. Mereka melakoni dua peran, sebagai pemimpin politik dan guru, dengan sama baik.
Pendiri Sarekat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto, misalnya, sekalipun tak pernah secara resmi mendirikan lembaga pendidikan, adalah akademisi yang handal. Naluri pendidiknya bahkan mampu membesarkan pemikir besar sekelas Soekarno dan SM Kartosuwujo. Tjokroaminoto mendedikasikan diri sebagai guru bagi para pemuda yang haus ilmu.
Pada masa yang tak jauh beda kegiatan berpolitik dan mendidik juga dilakoni Hatta dan Soekarno, sang dwitunggal. Kegiatan mengajar ketika menjalani masa pembuangan bukan keterpaksaan. Di Pulau Ende Soekarno berinveastasi dengan mengajar, menumbuhkan spirit kebangsaan pada anak-anak.

Persinggungan politik dan dunia guru berlanjut ketika Orde Baru. Kaum intelektual tampil sebagai konseptor pembangunan. Soeharto, pada masa itu, guru besar Ekonomi Universitas Indonesia Widjojo Nitisastro didapuk menjadi arsitek pembangunan nasional. Sekalipun sejarah melabelinya menjadi penyokong penguasa, akademisi yang politisi ini menyumbang jasa yang besar.
Di era reformasi seperti saat ini, kesempatan terbuka lebih lebar bagi para pendidik untuk bekiprah di dunia politik. Kini, misalnya, tidak sedikit dosen yang menjadi anggota DPR. Di kesempatan lain, mereka juga dapat tampil menjadi calon kepala daerah.

Dalam konteks lokal di Jawa Tengah, masyarakat akademik di provinsi ini kini memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang memiliki intuisi mendidik kuat. Dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah Mei mendatang, masyarakat berhak menyodorkan nama. Masyarakat, dengan mekanisme politik yang ada atau melalui media masa, dapat mengintervensi lembaga politik seperti partai untuk mengakomodasi kebutuhannya.
Hemat saya, suara masyarakat akademik untuk memiliki pemimpin demikian perlu disuarakan. Pasalnya, persoalan pendidikan mendasar di Jawa Tengah perlu diatasi segera. Masalah buta aksara, peningkatan kualitas guru, dan ketersediaan infrastruktur belajar, mutlak harus diselesaikan.

Agar persoalan ini tuntas hingga akarnya, tentu saja diperlukan pemimpin yang memiliki rekam jejak baik di dunia akademik. Siapakah dia? Setiap orang memiliki jawaban yang barangkali berbeda.

Thursday 14 February 2013

Peri Bahasa Jawa

Dalam khasanah sastra Jawa dikenal apa yang dinamakan bebasan, sanepan, atau saloka. Merupakan bentuk peribahasa yang berisi makna kiasan sebagai sarana mempermudah penggambaran suatu keadaan. Keadaan bisa berupa fakta realitas yang tidak biasa terjadi, sindiran, sarkasme, dan suatu kenyataan yang paradoksal. Dirangkai dalam gaya bahasa, kata dan kalimat yang indah, lembut agar tidak mudah menyinggung perasaan orang namun mudah sebagai pengingat. Pada saat ini kekayaan sastra Jawa terasa sangat minim, tidak lebih dari bahasa sehari-hari yang diterapkan dalam pergaulan masyarakat Jawa dan lainnya. Namun bila anda ingin menggunakan dalam wacana komunikasi sehari-hari tampaknya masih relevan, dan saya pikir masih bermanfaat untuk megistilahkan atau membahasakan suatu kejadian atau peristiwa yang tidak wajar. Kalimat yang digunakan ibarat pantun yang terkadang terasa lucu dan aneh. Apapun tastenya, berikut ini peribahasa yang dapat kami kumpulkan dari berbagai sumber khasanah pustaka Jawa dan nara sumber langsung. Semoga bermanfaat untuk anda sekalian yang masih peduli kebudayaan lokal asli nusantara maupun bagi yang gemar olah sastra dan budaya lokal.


A
Adhang-adhang tetese embun : njagakake barang mung sak oleh-olehe.
Adigang, adigung, adiguna : ngendelake kekuwatane, kaluhurane lan kepinterane.
Aji godhong garing (aking) : wis ora ana ajine / asor banget.
Ana catur mungkur : ora gelem ngrungokake rerasan kang ora becik.
Ana daulate ora ana begjane : arep nemu kabegjan nanging ora sida (untub-untub).
Ana gula ana semut : papan sing akeh rejekine, mesti akeh sing nekani.
Anak polah bapa kepradah : tingkah polahe anak dadi tanggungjawabe wong tuwa.
Anggenthong umos (bocor/rembes) : wong kang ora bisa nyimpen wewadi.
Angon mongso : golek waktu kang prayoga kanggo tumindak.
Angon ulat ngumbar tangan : ngulatake kahanan menawa kalimpe banjur dicolong.
Arep jamure emoh watange : gelem kepenake ora gelem rekasane.
Asu rebutan balung : rebutan barang kang sepele.
Asu belang kalung wang : wong asor nanging sugih.
Asu gedhe menang kerahe : wong kang dhuwur pangkate mesti bae gede panguwasane.
Asu marani gebuk : njarak / sengaja marani bebaya.
Ati bengkong oleh obor : wong kang duwe niyat ala malah oleh dalan.

B
Baladewa ilang gapite (jepit wayang) : ilang kekuwatane / kaluhurane.
Banyu pinerang ora bakal pedhot (sigar) : pasulayan sedulur ora bakal medhotake sedulurane.
Bathang lelaku : lunga ijen ngambah panggonan kang mbebayani.
Bathok bolu isi madu (bolong telu) : wong asor nanging sugih kepinteran.
Blaba wuda : saking lomane nganti awake dhewe ora keduman.
Bebek mungsuh mliwis : wong pinter mungsuh wong kang podho pintere.
Becik ketitik ala ketara : becik lan ala bakal konangan ing tembe mburine.
Belo melu seton (malem minggu) : manut grubyuk ora ngerti karepe (taklid).
Beras wutah arang bali menyang takere : barang kang wis owah ora bakal bali kaya maune.
Bidhung api rowang : ethok-ethok nulung nanging sejatine arep ngrusuhi.
Balilu tan pinter durung nglakoni (bodho) : wong bodho sering nglakoni, kalah pinter ro wong pinter nanging durung tau nglakoni.
Bubuk oleh leng : wong duwe niyat ala oleh dalan.
Bung pring petung : bocah kang longgor (gelis gedhe).
Buntel kadut, ora kinang ora udud : wong nyambut gawe borongan ora oleh mangan lan udud.
Buru (mburu) uceng kelangan dheleg : golek barang sepele malah kelangan barang luwih gedhe.
Busuk ketekuk, pinter keblinger : wong bodho lan pinter padha wae nemu cilaka.

C
Carang canthel : ora diajak guneman nanging melu-melu ngrembug.
Car-cor  kaya kurang janganan : ngomong ceplas-ceplos oran dipikir disik.
Cathok gawel (timangan sabuk) : seneng cawe-cawe mesthi ora diajak guneman.
Cebol nggayuh lintang : kekarepan kang ora mokal bisa kelakon.
Cecak nguntal cagak (empyak) : gegayuhan kang ora imbang karo kekuwatane.
Cedhak celeng boloten (gupak lendhut) : cedhak karo wong ala bakal katut ala.
Cedhak kebo gupak :  cedhak karo wong ala bakal katut ala.
Ciri wanci lelai ginawa mati : pakulinan ala ora bisa diowahi yen durung nganti mati.
Cincing-cincing meksa klebus : karepe ngirit nanging malah entek akeh.
Criwis cawis : seneng maido nanging yo seneng menehi/muruki.
Cuplak andheng-andheng, yen ora pernah panggonane bakal disingkirake : wong kang njalari ala becike disingkirake.
D
Dadiya banyu emoh nyawuk, dadiya godhong emoh nyuwek, dadiyo suket emoh nyenggut : wis ora gelem nyanak / emoh sapa aruh.
Dahwen ati open (seneng nacad) :  nacad nanging mbenerake wong liya.
Dandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dandhang : ala dianggep becik, becik dianggep ala.
Desa mawa cara, negara mawa tata : saben panggonan duwe cara utawa adat dhewe-dhewe.
Dhemit ora ndulit, setan ora doyan : tansah diparingi slamet, ora ana kang ngganggu gawe.
Digarokake dilukoke : dikongkon nyambut gawe abot.
Didhadhunga medhot, dipalangana mlumpat :  wong kang kenceng karepe ora kena dipenggak.
Diwenehi ati ngrogoh rempela : diwenehi sithik ora trima, malah njaluk sing akeh.
Dom sumuruping mbanyu : laku sesideman kanggo meruhi wewadi.
Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan : senajan wong liya yen lagi nemoni rekasa bakal dibelani.
Duka yayah sinipi, jaja bang mawinga-wingi : wong kang nesu banget.
Dudutan lan anculan (tali memeden sawah) : padha kethikan, sing siji ethok-ethok ora ngerti.
Durung pecus keselak besus : durung sembada nanging kepengin sing ora-ora.

E
Eman-eman ora keduman : karepe eman malah awake dewe ora keduman.
Emban cindhe emban siladan (slendang iratan pring) : pilih kasih / ora adil.
Embat-embat celarat (klarap) :  wong nyambut gawe kanthi ngati-ati banget.
Emprit abuntut bedhug : perkara sing maune sepele dadi gedhe / ngambra-ambra.
Endhas gundul dikepeti : wis kepenak ditambahi kepenak maneh.
Endhas pethak ketiban empyak : wong kang bola-bali nemu cilaka.
Enggon welut didoli udhet : panggone wong pinter dipameri kepinteran sing ora sepirowa.
Entek ngamek kurang golek : anggone nyeneni/nguneni sakatoge.
Entek jarake : wis entek kasugihane.
Esuk dhele sore tempe : wong kang ora tetep atine (mencla mencle).

G
Gagak nganggo lar-e  merak : wong asor / wong cilik tumindak kaya wong luhur (gedhe).
Gajah alingan suket teki : lair lan batine ora padha, mesthi bakal ketara.
Gajah (nggajah) elar : sarwa gedhe lan dhuwur kekarepane.
Gajah ngidak rapah (godhong garing) : nerang wewalere dewe.
Gajah perang karo gajah, kancil mati ing tengahe : wong gedhe sing padha pasulayan, wong cilik sing dadi korbane.
Garang garing : wong semugih nanging sejatine kekurangan.
Gawe luwangan kanggo ngurungi luwangan : golek utang kanggo nyaur utang.
Gayuk-gayuk tuna, nggayuh-nggayuh luput : samubarang kang dikarepake ora bisa keturutan.
Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh : senajan alon-alon anggone tumindak, nanging bisa kaleksanan karepe.
Golek banyu bening : meguru golek kawruh kang becik.
Golek-golek ketemu wong luru-luru : karepe arep golek utangan malah dijaluki utang.
Gupak pulute ora mangan nangkane : melu rekasa nanging ora melu ngrasakake kepenake.

I
Idu didilat maneh : murungake janji kang wis diucapake.
Iwak lumebu wuwu : wong kena apus kanthi gampang.

J
(n)Jagakake endhoge si blorok : njagagake barang kang durung mesthi ana lan orane.
(n)Jajah desa milang kori : lelungan menyang ngendi-endi.
Jalma angkara mati murka : nemoni cilaka jalaran saka angkara murkane.
(n)Jalukan ora wewehan : seneng njejaluk ora seneng menehi.
Jati ketlusupan ruyung : kumpulane wong becik kelebon wong ala.
Jaran kerubuhan empyak : wong wis kanji (kapok) banget.
Jarit lawas ing sampire : duwe kapinteran nanging ora digunakake.
Jer basuki mawa bea : samubarang gegayuhan mbutuhake wragat.
Jujul muwul : perkara kang nambah-nambahi rekasa.
(n)Junjung ngetebake / ngebrukake : ngalembana nanging duwe maksud ngasorake.

K
Kacang ora ninggal lanjaran : kebiasa-ane anak nirokake wong tuwane.
Kadang konang : gelem ngakoni sedulur mung karo sing sugih.
Kala cacak menang cacak : samubarang panggawean becik dicoba dhisik bisa lan orane.
Kandhang langit, bantal ombak, kemul mega : wong sing ora duwe papan panggonan.
Katepang ngrangsang gunung : kegedhen karep/panjangka sing mokal bisa kelakon.
Katon kaya cempaka sawakul : tansah disenengi wong akeh.
Kaya banyu karo lenga : wong kang ora bisa rukun.
Kakehan gludug kurang udan : akeh omonge ora ana nyatane.
Kabanjiran segara madu : nemu kabegjan kang gedhe banget.
Kebat kliwat, gancang pincang : tumindak kesusu mesthi ora kebeneran.
Kebo bule mati setra : wong pinter nanging ora ana kang mbutuhake.
Kebo ilang tombok kandhang : wis kelangan, isih tombok wragat kanggo nggoleki, malah ora ketemu.
Kebo kabotan sungu : rekasa kakehan anak / tanggungan.
Kebo lumumput ing palang : ngadili perkara ora nganggo waton.
Kebo mulih menyang kandhange : wong lunga adoh bali menyang omahe / asale.
Kebo nusu gudel : wong tuwa njaluk wulang wong enom.
Kegedhen empyak kurang cagak : kegedhen karep nanging ora sembada.
Kajugrugan gunung menyan : oleh kabegjan kang gedhe banget.
Kekudhung walulang macan : ngapusi nggawa jenenge wong kang diwedeni.
Kelacak kepathak : ora bisa mungkir jalaran wis kebukten.
Kena iwake aja nganti buthek banyune : sing dikarepake bisa kelakon nanging aja nganti dadi rame/rusak.
Kencana katon wingko : senajan apik nanging ora disenengi.
Kendel ngringkel, dhadang ora godak : ngakune kendel tur pinter jebule jirih tur bodho.
Kenes ora ethes : wong sugih amuk nanging bodho.
Keplok ora tombok : wong senengane komentar thok nanging ora gelem tumindak.
Kere munggah mbale : batur dipek bojo karo bendarane.
Kere nemoni malem : wong kang bedigasan / serakah.
Kerot ora duwe untu : duwe kekarepan nanging ora duwe beaya / wragat.
Kerubuhan gunung : wong nemoni kesusahan sing gedhe banget.
Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang : nemoni cilaka kang ora kenyana-nyana.
Ketula-tula ketali : wong kang tansah nandang sengsara.
Kethek saranggon : kumpulane wong kang tindakane ala.
Kleyang kabur kanginan, ora sanak ora kadhang : wong kang ora duwe panggonan sing tetep.
Klenthing wadah uyah : angel ninggalake pakulinan tumindak ala.
Kongsi jambul wanen : nganti tumekan tuwa banget.
Krokot ing galeng : wong kang mlarat banget.
Kriwikan dadi grojogan : prakara kang maune cilik dadi gedhe banget.
Kumenthus ora pecus : seneng umuk nanging ora sembada.
Kurung munggah lumbung : wong asor / cilik didadekake wong gedhe.
Kuthuk nggendhong kemiri : manganggo kang sarwo apik/aji liwat dalan kang mbebayani.
Kutuk marani sunduk, ula marani gebuk : njarag marani bebaya.
Kuncung nganti temekan gelung : suwe banget anggone ngenteni.

L
Ladak kecangklak : wong kang angkuh nemoni pakewuh, marga tumindake dewe.
Lahang karoban manis : rupane bagus / ayu tur luhur budine.
Lambe satumang kari samerang : dituturi bola-bali meksa ora digugu.
Lanang kemangi : wong lanang kang jireh.
Legan golek momongan : wis kepenak malah golek rekasa.
Lumpuh ngideri jagad : duwe karepan kang mokal bisa keturutan.

M
Maju tatu mundur ajur : perkara kang sarwa pakwuh.
Matang tuna numbak luput : tansah luput kabh panggayuhan.
Mbuang tilas : ethok-ethok ora ngerti marang tumindak kang ala sing lagi dilakoni.
Meneng widara uleran : katon anteng nanging sejatin ala atine.
Menthung koja kena sembagine : rumangsane ngapusi nanging sejatine malah kena apus.
Merangi tatal : mentahi rembug kang wis mateng.
Mikul dhuwur mendhem jero : bisa njunjung drajate wong tuwa.
Milih-milih tebu oleh boleng : kakehan milih wekasan oleh kang ora becik.
Mrojol selaning garu : wong kang luput saka bebaya.
Mubra-mubra mblabar madu : wong sing sarwa kecukupan.

N
Nabok anyilih tangan : tumindak ala kanthi kongkonan uwong liya.
Ngagar metu kawul : ngojok-ojoki supaya dadi pasulayan, nanging sing diojoki ora mempan.
Ngajari bebek nglangi : panggawean sing ora ana paedahe.
Ngalasake negara : wong sing ora manut pranatane negara.
Ngalem legining gula : ngalembana kepinterane wong kang pancen pinter/sugih.
Ngaturake kidang lumayu : ngaturake barang kang wis ora ana.
Nglungguhi klasa gumelar : nindakake panggawean kang wis tumata.
Ngontragake gunung : wong cilik/asor bisa ngalahake wong luhur/gedhe, nganti gawe gegere wong akeh.
Nguthik-uthik macan dhedhe : njarag wong kang wis lilih nepsune.
Nguyahi segara : weweh marang wong sugih kang ora ana pituwase.
Nucuk ngiberake : wis disuguhi mangan mulih isih mbrekat.
Nututi layangan pedhot : nggoleki barang sepele sing wis ilang.
Nyangoni kawula minggat : ndandani barang sing tansah rusak.
Nyolong pethek : tansah mleset saka pametheke/pambatange.

O
Obah ngarep kobet mburi : tumindake penggede dadi contone/panutane kawula alit.
Opor bebek mentas awake dhewek : rampung saka rekadayane dhewe.
Ora ana banyu mili menduwur : watake anak biasane niru wong tuwane.
Ora ana kukus tanpa geni : ora ana sbab tanpa akibat.
Ora gonjo ora unus : wong kang ala atine lan rupane.
Ora mambu enthong irus : dudu sanak dudu kadhang.
Ora tembung ora tawung : njupuk barang liyan ora kandha disik.
Ora uwur ora sembur : ora gelem cawe-cawe babar pisan.
Ora kinang ora udud : ora mangan apa-apa.
Othak athik didudut angel : guneme sajak kepenak, bareng ditemeni jebule angel.

P
Palang mangan tandur : diwenehi kapercayan malah gawe kapitunan.
Pandengan karo srengenge : memungsuhan karo penguwasa.
Pandhitane antake : laire katon suci batine ala.
Pecruk (manuk kag magan iwak) tunggu bara : dipasrahi barang kang dadi kesenengan.
Pitik trondhol diumbar ing padaringan : wong ala dipasrahi barang kang aji, wekasane malah ngentek-entekake.
Pupur sadurunge benjut : ngati-ati sadurunge benjut.

R
Rampek-rampek kethek : nyedak-nyedak mung arep gawe kapitunan.
Rawe-rawe rantas malang-malang putung : samubarang kang ngalang-alangi bakal disingkirake.
Rebut balung tanpa isi : pasulayan merga barang kang sepele.
Rindhik asu digitik : dikongkon nindakake penggawean kang cocok karo kekarepane.
Rupa nggendhong rega : barang apik regane larang.
Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah : yen padha rukun mesti padha santosa, yen padha congkrah mesthi padha bubrah/rusak.

S
Sabar sareh mesthi bakal pikoleh : tumindak samubarang aja kesusu supaya kasil.
Sabaya pati, sabaya mukti : kerukunan kang nganti tekan pati.
Sadumuk bathuk sanyari bumi : pasulayan nganti dilabuhi tekaning pati.
Sandhing kebo gupak : cedhak wong tumindak ala, bisa-bisa katut ala.
Satru mungging cangklakan : mungsuh wong kang isih sanak sedulur.
Sadhakep awe-awe : wis ninggalake tumindak ala, nanging batien isih kepengin nglakoni maneh.
Sembur-sembur adus, siram-siram bayem : bisa kalaksanan marga oleh pandongane wong akeh.
Sepi ing pamrih, rame ing gawe : nindakake panggaweyan kanthi ora melik/pamrih apa-apa.
Sing sapa salah bakal seleh : sing sapa salah bakal konangan.
Sluman slumun slamet : senajan kurang ati-ati isih diparingi slamet.
Sumur lumaku tinimba, gong lumaku tinabuh : wong kang kumudu-kudu dijaluki piwulang/ditakoni.

T
Tebu tuwuh socane : prakara kang wus apik, bubrah marga ana sing ngrusuhi.
Tega larane ora tega patine : senajan negakake rekasane, nanging isih menehi pitulungan.
Tekek mati ing ulone : nemoni cilaka margo saka guneme dhewe.
Tembang rawat-rawat, ujare mbok bakul sunambiwara : kabar kang durung mesthi salah lan benere.
Timun jinara : prakara gampang banget.
Timun mungsuh duren : wong cilik mungsuh wang kuwat/panguwasa, mesthi kalahe.
Timun wungkuk jaga imbuh : wong bodho kanggone yen kekurangan wae.
Tinggal glanggang colong playu : ninggalake papan pasulayan.
Tulung (nulung) menthung : katone nulungi jebule malah nyilakani.
Tumbak cucukan : wong sing seneng adu-adu.
Tuna sathak bathi sanak : rugi bandha nanging bathi paseduluran.
Tunggak jarak mrajak tunggak jati mati : prakara ala ngambra-ambra, prakara becik kari sethitik.

U
Ucul saka kudangan : luput saka gegayuhane.
Ulat madhep ati manteb : wis manteb banget kekarepane.
Undaking pawarta, sudaning kiriman : biasane pawarta iku beda karo kasunyatane.
Ungak-ungak pager arang : ngisin-isini.

W
Welas tanpa lalis : karepe welas nanging malah gawe kapitunan.
Wis kebak sundukane : wis akeh banget kaluputane.
Wiwit kuncung nganti gelung : wiwit cilik nganti gedhe tuwa.

Y
Yitna yuwana mati lena : sing ngati-ati bakal slamet, sing sembrana bakal cilaka.
Yiyidan mungging rampadan : biyene wong durjana/culika saiki dadi wong sing alim.
Yuwana mati lena : wong becik nemoni cilaka marga kurang ngati-ati.
Yuyu rumpung mbarong ronge : omahe magrong-magrong nanging sejatine mlarat.